Kamis, 24 Maret 2011

Lelaki di Gedung Pink (Cerpen Mariati Sofia) (EDISI 1)

Ini bukan sebuah mimpi, aku melihatnya di sana sendiri sedang menikmati gorengan. Dia makan tanpa piring, tetapi hanya sebuah gorengan. Itu saja sepertinya sudah cukup sekedar menambah energi.
Mataku begitu tajam dan lincah dalam memperhatikan setiap gerak-geriknya. Sehingga aku tau bahwa yang sedang dia makan adalah sebuah gorengan yang tanpa dialas dengan piring. Padahal aku hanya melihanya dari belakang dan itupun sambil berjalan. Dengan jarak mencapai hingga sepuluh meter. Terlihat jelas adalah bagian punggungnya, dari jauh menuju teritisan gedung pink. Setiap dua langkah, penglihatanku terhalang oleh pohon mahoni, pohon jati, pohon bunga tanjung, dan pohon lansano hingga langkahku semakin jauh dan tidak nampak lagi bayangannya dengan jelas, walau itu hanya bagian punggung. Namun bayangan yang sempat ku perhatikan sekilas itu masih tertinggal di bola mataku.
Satu harapan yang timbul untuknya. Aku tidak ingin kehilangannya, aku yakin aku tidak akan kehilangannya karena aku akan selalu melewati gedung pink itu setiap pagi. Seolah-olah aku sedang berdialog dengan bayanganku sendiri. Kalau dia masih akan tetap duduk di tempat itu, walau hanya sebuah persepsi. Kalau sebenarnya bayangannya akan selalu ada.
Dia sama sekali tidak mengenaliku. Tidak sedikt pun dari langkahku. Namun aku tahu tentangnya. Puisinya yang telah singgah diberbagai media, tulisan-tilisan kritikan tentang pemerintahan saat ini dan masih banyak lagi yang tidak dapat lagi ku ingat saking banyaknya, dia sebagai penulis pun mungkin lupa dari apa yang telah dituliskannya kecuali dia membuka kembali arsip-arsipnya. Dimulai dari kesederhanaan tulisan yang membawa kepada kemewahan yang menggugah pembaca hingga kesederhanaan penampilannya yang membawa kepada keistimewaan bagi setiap mata-mata yang berkedip.
Penghargaan itu tiba-tiba aku berikan padanya. Benar atau tidak kalau dia adalah orang yang kumaksud. Aku cukup pemberani untuk memutuskan persepsiku, jika aku salah dalam mempersepsikan hal itu maka dengan itu aku bisa belajar dan telah memiliki tahap awal pencarian bayangannya.***
Pagi ini dia telah duduk di sana. Itu bukanlah tempat tinggalnya, karena di teritisan itu hanya terdapat dua buah meja, yang berisikan beberapa macam gorengan dalam bungkus plastik dan bermacam sayuran yang telah direbus namun belum dibumbui yang kemudian dicampur dengan ketupat lalu disiram dengan bumbu yang telah disediakan. Lalu dua buah bangku panjang dua buah juga. Sehingga bagi setiap pengunjung yang mampir bisa duduk saling berhadapan.
Di teritisan gedung tua itu, telah menyeruak besi-besi bangunannya karena diguncang gempa yang begitu dahsyat berkali-kali. Kaca-kaca jendelanya pun yang tersisa hanya tinggal beberapa buah saja dari sekian banyak jendela yang dipasang kaca.
Betapa itu yang ingin kucicipi. Dia kembali menikmati gorengan panas yang masih mengepul. Aku tidak dapat menghampirinya ke teritisan itu untuk ikut enikmati gorengan panas. Aku enggan untuk memijakkan kakiku ketempat itu. Karena saat ini dia tidak sendiri lagi seperti hari kemarin, sekarang dia bersama-sama menikmati makanan itu dengan beberapa orang. Diantara mereka ada yang menghadap kearahku, karena mereka saling berhadapan, namun bukan orang yang kumaksud. Orang yang kumaksud justru dia tidak menghadap kearahku meskipun hanya sekilat saja. Aku hanya dapat melihat bagian samping bayangan rongga tubuhnya. Sepertinya mereka sepakat mencuili gorengan yang panas sedikit demi sedikit. Tidak mungkin juga jika aku datang pada mereka dengan ramah dan penuh kesopanan lalu bertanya kemudian berkenalan “Apa kabar? Benarkah ini adalah seorang pujangga yang karyanya telah terbit diberbagai media itu?” mereka pasti akan mencibiriku ketika aku benar-benar melakukannya, karena mereka akan beranggapan negatif terhadap tingkahku yang aneh.
Ku percepat langkahku, “Uhh..” ku buang nafas sesak yang telah mengganggu tanpa ku harus melakukan tarik nafas yang sedalam-dalamnya terlebih dahulu. Kembali ku meninggalkannya tanpa aku sempat mengenali wajahnya terlebih dahulu. Tak dapat kubayangkan saat ini, yang terlintas adalah sedikit bayangan mengenai kaos oblong putih serta sandal jepit sebagai alas kakinya.***
Tidak ada keinginan ku untuk mempersingkat pagi ini. Tak seperti biasanya yang kuhanya melihatnya sekilas bayang, itupun hanya bagian punggung dan samping bayangnya ditambah lagi dengan pepohonan yang selalu menghalangiku tuk melihatnya.
Aku ingin mempercepat langkah, bukan mempersingkat pagi agar pagi ini adalah pagi yang panjang untukku bertemu dengannya. Takut yang muncul dalam pikiran. Takut kehilangannya dan tidak akan bisa menemuinya lagi setiap pagi. Aku mempercepat pengemasan barang-barang yang kubutuhkan, agar kudapat menjawab pertanyaannya jika seandainya pertanyaan itu terlontar darinya tentangnya.
Ku akui kalau pagi ini terasa begitu panjang. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Namun ku tak dapat melihatnya. Melihat bayangan yang selama ini kukenal. Aku telah kehilangan jejak. Mungkin dia telah kehilangan pagi.
Mulai kumencari-cari. Melangkah menuju teritisan gedung itu. Hiruk-pikuk yang ada di sekitarnya tak kuhiraukan. Perlahan kujejaki gedung itu. Namun yang terlihat jelas di sana hanyalah dua pasang meja dan bangku yang panjang, dia pun tak terlihat di sana bersembunyi. Apalagi memakan gorengan seperti pagi-pagi sebelumnya. Sungguh kini aku benar-benar kehilangan bayangannya. Namun aku melihat ada gorengan yang telah tersedia meskipun bukanlah gorengan panas seperti yang kubayangkan.
Berlari kumenjauhi tempat itu hingga berjarak sepuluh meter. Ku melangkan memperhatikan dengan pasti dari balik mahoni, jati, bunga tanjung, dan lansano yang besar ukuran pohonnya dapat diukur dengan setiap orang yang bersembunyi di baliknya tidak akan terlihat. Numun ku tak dapat menemukannya juga. Padahal pagi-pagi sebelumnya aku lebih kesiangan, setelah kupercepat perencanaan pertemuan dengannya malah tidak bertemu sama sekali. Aneh. Atau mungkin aku terlalu pagi sampai di tempat ini.
Melanjutkan langkah menuju pintu yang telah terbuka meski hanya sedikit. Aku harus berani karena aku tak ingin kehilangannya, dan akupun yakin saat saat ini dia benar-benar tidak nampak namun masih ada peluang untukku mencarinya disetiap sudut yang tersembunyi di dalam gedung ini. Kudorong pintu yang hanya sedikit terbuka dengan tenaga yang ekstra. “Brak!!” kuterkejut. Pintu itupun berbalik menutup sediri. Aku terbantu karena keinginanku untuk menyelinap, kebelakang pintu mencari bayangannya sudah kulakukan tanpa harus membaliknya dengan tangan kosong.
Berlari kukeruang belajar yang kursi-kursinya masih tersusun rapi. Dihiasi dengan sampah dedaunan kering yang masuk dari jendela-jendela kaca yang pecah hanya tinggal kerangkanya. Dari kursi ke kursi mencari bayangannya namun tak terlihat sedikit saja bayanganya.
Berpindah kukeruang yang terletak di ujung jauh dari pintu masuk. “Drakk!”. Ruangannya sangat pengap, hingga kuharus menutup hidung menyelamatkan pernafasanku. Terlihat kering. Banyak digelayuti oleh jejaring laba. Sempit. Rasanya tidak memungkinkan jika dia harus bersembunyi di tempat ini.
Terpaksa ku tinggalkan gedung ini. Menuju keluar ruangan. Kembali lagi kucari bayangannya di teritisan gedung pink, kucari dia di bawah meja tempat biasa dia di sana juga di bawah bangku panjang. Sama. Hal membuatku terheran aku sudah tidak melihat gorengan yang dingin saat pertama aku sampai di sini. Padahal aku tadi benar-banar telah menyentuhnya. “Aneh!”.
Dia benar-benar telah meninggalkan pagi. Untuk apa aku di sini. Melangkah lalu kutinggalkan teritisan gedung pink. Setelah beberapa meter ku tinggalkan kakiku tertahan. Ada satu suara aneh yang kudengar “Ehmb”, kulangsung berputar seratus delapan puluh derjat. “Hahh!” mataku terbelalak, tidak dapat aku berkata apapun, sungguh dia ada di sana.benarkah itu adalah dia.aku yakin sekali karena aku telah lama mengenalinya meskipun hanya punggungnya. Aku masih berusaha untuk menepuk punggungnya karena dia masih membelakangiku, namun kakiku tertahan tak dapat digerakkan. Dia tetap duduk membelakangiku tepat di depanku. Dia tidak melihatku sama sekali. Aku seperti orang yang tenggelam dalam bernang, tak dapat bersuara, hanya dapat melambaikan tangan. Hingga ku benar-benar tidak melihatnya.***

Padang, 4 Desember 2010
Mahasiswi Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam, Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar